Sami’na wa atho’na (Kami Dengar dan Kami Taat)

*Oleh: Riki Efendi Dahulu, pada masa awal dakwah Rasulullah, setiap perintah dan larangan yang datang selalu direspon umat di masa itu dengan menggunakan instrumen keimanan. Tidak peduli apakah ia, menguntungkan atau merugikan, mudah ataupun sulit. Semangat keimanan melahirkan ruh-ruh keta’atan. Sami’na wa atho’na. Kami dengar dan kami taati. Termasuk di dalamnya ketika muncul kasus pengharaman babi secara kontekstual dalam Al-Qur’an. Para sahabat tidak lantas sibuk menanyakan dan bertanya-tanya. Kenapa? Apa bahayanya? Buah keimanan adalah munculnya khudznudzon mereka kepada Allah. Yakin bahwa di dalam larangan itu pasti ada kebaikan. Maka kita sebagai seorang hamba, kita harus mendahulukan substansi “sami’na wa’atho’na” dan bukan “sami’na, sebentar, saya pikir-pikir dulu mau tho’at atau tidak?” Keimanan itu memang proses. Sebagaimana keimanan nabi Ibrahim, penghulu tauhid. Tapi setelah beriman, setiap resiko keimanan itu tidak lagi ditimbang-timbang. Tidak lagi kita ikuti ia dengan pe...