Inilah kita selama ini tanpa kita sadari
kisah ini saya kutip dari buku Ust. Yusuf Mansur "The Secret of a Happy Life". buku bab pertama dan membuat saya meneteskan air mata karena benar dan itulah kita selama ini.
“hey kamu, mari sini” sapa Luqman halus kepada seorang bocah
dengan sengaja mengganggu anak kecil lain yang sedang berpuasa. “siapa nama
kamu? Dari mana kamu berasal?” Tanya Luqman sambil memegang lengan bocah itu. Sebetulnya
Luqman gemes, tapi ia tahan kegemasan itu.
Meski ditanya dengan sopan, bocah itu malah balik mendelik kea
rah Luqman dan tertawa menyeringai! Tawa bocah itu membuat Luqman melepaskan
pegangannya seketika.
Luqman melihat mata bocah itu. Mata itu bukanlah mata anak
manusia pada umumnya. Ditambah lagi, sebelumnya Luqman tidak pernah melihat
bocah itu di kampungnya.
Luqman memutuskan menuggu kehadiran bocah itu. Kata orang kampung,
belakangan ini setiap ba’da zhuhur anak itu akan muncul secara misterius. Tidak
lama kemudian bocah itu hadir. Benar, ia menari-nari sambil menyeruput es
kelapa
“bismillah…” luqman kembali mencengkeram tangan bocah itu. Ia
kuatkan mentalnya. Ia berpikir kalau memang bocah itu adalah bocah jadi-jadian,
ia akan korek keterangan, apa maksud semua ini. Luqman membawa anak ini
kerumahnya.
“ada apa tuan melarang saya meminum es kelapa dan menyantap
roti ini? Bukannya ini kepunyaan saya?” Tanya bocah sesampainya di rumah luqman
seakan tahu bahwa luqman akan bertanya tentang kelakuannya.
“maaf ya. Itu karena kamu melakukannya pada bulan puasa,”
jawab luqman dengan halus, “apalagi kamu tahu, bukanlah seharusnya kamu juga
berpuasa. Lalu bukannya ikut menahan lapar dan haus, kamu malah menggoda orang
dengan tingkahmu itu”
Sebenarnya luqman masih mau mengeluarkan uneknya, mengomeli
anak itu. Tapi mendadak bocah itu berdiri sebelum luqman selesai.
“itu kan yang kalian lakukan juga kepada kami semua! Bukankah
kalian yang lebih sering melakukan itu ketimbang saya? Kalian semua
mempertontonkan kemewahan ketika kami hidup di bawah garis kemiskinan pada
sebelas bulan di luar bulan puasa?
Bukankah kalian yang lebih sering melupakan kami yang
kelaparan, dengan menimbun harta sebanyak- banyaknya dan melupakan kami?
Bukankah kalian juga yang selalu tertawa dan melupakan kami
yang sedang menangis? Bukankah kalian yang selalu berobat mahal bila sedikit
saja sakit menyerang, sementara kalian mendiamkan kami yang mengeluh kesakitan
hingga kematian menjemput ajal?
Bukankah di bulan puasa ini hanya pergeseran waktu saja
kalian menahan rasa lapar dan haus? Ketika bedug magrib berlalu, kalian kembali
pada kerakusan kalian?”
Bocah ini terus saja berbicara, tanpa sedikitpun member luqman
kesempatan menyela. Tiba-tiba suara bocah itu berubah. Kalau tadinya berkata
demikian tegas dan terdengar sangat “menusuk” kini ia bersuara lirih, mengiba.
“ketahuilah tuan, kami berpuasa tanpa ujung. Kami senantiasa
berpuasa meski bukan waktunya bulan puasa lantaran memang tidak ada makanan
yang bisa kami makan. Sementara tuan berpuasa sepanjang siang saja.
Dan ketahuilah tuan, justru tuan dan orang-orang di
sekeliling tuanlah yang menyakiti perasaan kami dengan berpakaian yang luar
biasa mewahnya, lalu kalian sebut itu menyambut Ramadhan dan Idul Fitri?
Bukankah kalian juga yang selalu berlebihan dalam
mempersiapkan makanan yang luar biasa bervariasi banyaknya, segala rupa ada,
lantas kalian menyebutnya itu menyambut
Ramadhan dan Idul Fitri?
Tuan, sebelas bulan kalian semua tertawa di saat kami
menangis, bahkan pada bulan Ramadhan pun hanya ada kepedulian yang seadanya. Tuan,
kalianlah yang melupakan kami, kalianlah yang menggoda kami, dua belas bulan
tanpa terkecuali di bulan Ramadhan ini apa yang saya lakukan adalah yang kalian
lakukan juga terhadap orang-orang kecil seperti kami. Tuan, sadarkah tuan akan
ketidakabadian harta? Lalu mengapakah masih saja mendekap harta secara
berlebihan?
Bahkan, berlebihannya tuan dan orang-orang sekeliling tuan
bukan hanya pada penggunaan harta, tapi juga pada dosa dan maksiat. Tahukah tuan,
akan adanya azab Tuhan yang menimpa?
Tuan, jangan merasa aman lantaran kaki masih menginjak bumi.
Tuan, jangan merasa perut ‘kan kenyang esok lantaran tersimpan pangan ‘tuk
setahun. Tuan, jangan merasa matahari tidak akan pernah menyatu dengan bumi,
kelak”
Perkataan demi perkataan meluncur deras dari mulut bocah
kecil itu tanpa bisa dihentikan. Dan hebatnya, semua apa yang disampaikan bocah
tersebut adalah benar adanya! Hal ini menambah keyakinan luqman bahwa bocah ini
bukan bocah sembarangan.
Habis berkata pedas dan tajam seperti itu, bocah itu pergi
begitu saja meninggalkan luqman yang dibuatnya terbengong-bengong. Di kejauhan
luqman melihat bocah itu menghilang bak ditelan bumi.
Bocah itu memberi kita pelajaran bahwa seharusnya mereka
yang sedang di atas, yang sedang mendapat karunia Allah, jangan sekali-kali
menggoda orang kecil dengan berjalan membusungkan dada dan mempertontonkan
kemewahan yang berlebihan.
Marilah kita berpikir tentang dampak sosial yang akan
terjadi bila terus menjejali tontonan kemewahan, sementara yang melihatnya
sedang membungkuk menahan lapar. kita masih bisa mengatakan "mau makan dimana hari ini?", sementara mereka dengan lirih mengatakan "mau makan apa hari ini? makan apa enggak hari ini?"
Semoga Allah memberi kita limpahan rezeki dan membantu mereka yang membutuhkan, karena ketika memberi "senyum" merekalah yang dapat melunakkan kerasnya hati kita
“di setiap tetesan nikmat yang kita
rasakan, ada baiknya kita mengingat bahwa ada orang lain yang juga berhak
merasakannya”
Comments
Post a Comment