ROMANTIKA SISIR DAN SANDAL

Di pinggiran kota, hiduplah sepasang suami istri yang renta. Mereka hidup serba kekurangan, dan kadang menggantungkan rezekinya pada belas kasihan tetangganya. Suatu hari, si istri menghampiri suaminya yang duduk.

“Pak, bisakah kau belikan untukku sisir yang baru? Sejak sisir kita rusak bulan lalu, aku sudah tak lagi menyisir rambut,” kata istrinya.

“Sabarlah bu, aku belum bisa membelikanmu sekarang. Bagaimana aku akan membeli ke tengah kota, sedangkan alas kaki saja aku tak punya. Sejak sendalku putus bulan lau, aku sudah tak lagi beralas kaki” jawab suaminya. Matanya berkaca-kaca. Ia menangis karena tak mampu memenuhi kebutuhan istrinya.

Waktu berlalu. Suatu hari datanglah ke rumah mereka seorang lelaki yang dermawan. Kebetulan yang ada di rumah hanya si istri. Si suami sedang keluar entah kemana.

“Terimalah ibu yang baik. Semoga menjadi rezeki bagi ibu dan bapak” kata lelaki baik yang serupa malaikat itu.

“terima kasih mas, terima kasih sekali” kata si istri. Ia menangis haru. Tak henti-hentinya mengucap terima kasih.

Di hari yang lain. Datanglah lagi orang dermawan ke rumah mereka. Kali ini si suami yang menerimanya. Sedang istrinya sedang tidur pulang.

“Terimalah ibu yang baik. Semoga menjadi rezeki bagi ibu dan bapak” kata lelaki baik yang serupa malaikat itu.

“terima kasih mas, terima kasih sekali” kata si suami. Ia menangis haru. Tak henti-hentinya mengucap terima kasih.

Suami istri itu tak saling tahu tentang apa yang mereka terima dari sang dermawan. Mereka hanya ingin segera menggunakan uang itu untuk kebutuhan mereka. Pagi harinya, si suami bergegas menuju ke tengah kota. Ia bermaksud membeli sisir dan sandal. Sampai di kota ia memilih sisir paling bagus. Ia akan mengejutkan istrinya dengan hadiah sisir yang indah ini. Segera dipilihnya sisir berwarna merah muda. Berikutnya, ia membeli sandal. Tapi, ia berpikir dalam hati.

“apakah aku masih perlu sandal, sedangkan aku sampai kesini tak memakainya?” katanya dalam hati. Ia malah berpikir hendak menanyai istrinya, kebutuhan apa lagi yang diminta selain sisir. Ia pun bergegas pulang. Tak sabar ingin membahagiakan istrinya dengan sisir barunya.

Tapi sampai di rumah, ia tak mendapati seorang pun. Ke mana istrinya? Baru saja ia hendak mencari keluar rumah, ketika di kejauhan tampak istrinya datang tergopoh-gopoh. Semakin dekat, tampaklah bahwa istrinya menenteng sesuatu. Begitu semakin dekat, tahulah bahwa istrinya membawa sandal baru. Sandal yang pasti dibeli untuk suaminya tercinta. Beberapa saat mereka tertegun berpandangan. Si istri pun menghentikan langkahnya, melihat suaminya menggenggam sisir baru nan indah. Sudah pasti, sisit itu untuk dirinya.

Beberapa saat kemudian mereka berpelukan, sama-sama menangis haru. Inilah rahasia awetya cinta mereka. Mereka sama-sama sabar menghadapi kemiskinan, dan begitu ada kesempatan, yang mereka pikirkan adalah bagaimana membahagiakan pasangannya, bukan untuk kebahagiaan sendiri.


Dari cerita di atas salah satu rahasia awetnya rumah tangga, yakni berpikir bagaimana membahagiakan pasangan, bukan membahagiakan diri sendiri. Kadar kebahagiaan itu adakalanya begitu sederhana, sesederhana sisir dan sandal. Jangan dilihat nilai sisir dan sandalnya, tapi lihatlah ketulusan dan perhatiannya. Kadang orang merasa kebahagiaan itu ada pada kemewahan dan fasilitas, padahal bukan. Bukan itu. Kebahagiaan itu adalah ketika pasangan kita tahu bahwa kita begitu tulus mencintainya, meskipun wujudnya hanya senilai sisir dan sandal.

Comments

Popular posts from this blog

Asmaul Husna [ 3. Yang Maha Penyayang (الرَّحِيْمُ) ]

Berapa Umur Kita?

MENYELESAIKAN MASALAH TANPA MASALAH (Bagian I)