SETIAP PERANTAU PASTI AKAN PULANG
Tradisi dari provinsi tetangga kita yaitu Sumatera Barat adalah merantau. Jadi tidak heran hampir dimana aja daerah ada orang minang. Ada istilah dimana aja ada rumah makan minang. Sampai di bulan ada juga. Ini contohnya
Cerita dengan teman-teman dan kenalan orang sumbar bahwa merantau ini sudah menjadi tradisi, terutama bagi laki-laki. Ada yang merantau dari tamat SD sampai tamat kuliah.
Tujuan merantau kebanyakan adalah untuk memperbaiki keadaan ekonomi dan mencari pitih (uang). Di perantauan setiap perantau berusaha mencari dan mengumpulkan bekal sebanyak mungkin.
Setiap perantau suatu saat pasti akan pulang ke kampung halamannya. Dari cerita yang pernah saya dengar kebanyakan perantau akan pulang kampung apabila sudah ada bekal di perantauan. Tujuannya ya pasti agar ketika pulang pede dengan kesuksesan yang didapat, mungkin dengan kendaraannya. Ada juga perantau yang berprinsip tidak akan pulang apabila tidak ada banyak bekal dan sukses di perantauan, karena malu ketika pulang dengan keadaan yang sama ketika merantau dulunya.
Hikmah yang dapat kita ambil adalah dari segi bekal yang dikumpulkan perantau. Untuk pulang ke kampung halaman saja seorang perantau akan pulang ketika sudah ada banyak bekal yang di dapat. Dari pagi sampai malam, kadang malam sampai pagi sibuk dengan mencari bekal (harta).
Lalu bagaimana dengan bekal akhirat kita? Kadang kita sibuk memikirkan bekal untuk pulang ke kampung halaman daripada bekal pulang ke kampung akhirat.
Kita terlalu pede dengan bekal di dunia (harta), lalu bagaimana dengan bekal akhirat (amal) ketika “pulang”?
Mari kita instropeksi diri kita masing-masing, bekal mana yang sibuk kita usahakan setiap detik, menit dan jam setiap hari yang kita lalui?
Lebih banyak porsi untuk bekal dunia atau bekal akhirat? Tidak masalah mencari bekal dunia, tetapi jangan lupa dengan bekal akhirat.
Apabila kita sibuk dengan bekal dunia saja, yang terjadi cenderung mengikuti kehendak hawa nafsu yang berujung pada mengabaikan halal atau haram dari bekal yang dicari.
JADILAH DIDUNIA INI SEPERTI PERANTAU
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasehati seorang sahabat yang tatkala itu berusia muda (berumur sekitar 12 tahun) yaitu Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma. (Syarh Al Arba’in An Nawawiyah Syaikh Sholeh Alu Syaikh, 294). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang pundaknya lalu bersabda,
كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ , أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ
“Hiduplah engkau di dunia ini seakan-akan sebagai orang asing atau pengembara.” (HR. Bukhari no. 6416)
Lihatlah nasehat yang sangat bagus sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabat yang masih berusia belia.
Ath Thibiy mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memisalkan orang yang hidup di dunia ini dengan orang asing (al ghorib) yang tidak memiliki tempat berbaring dan tempat tinggal. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan lebih lagi yaitu memisalkan dengan pengembara. Orang asing dapat tinggal di negeri asing. Hal ini berbeda dengan seorang pengembara yang bermaksud menuju negeri yang jauh, di kanan kirinya terdapat lembah-lembah, akan ditemui tempat yang membinasakan, dia akan melewati padang pasir yang menyengsarakan dan juga terdapat perampok. Orang seperti ini tidaklah tinggal kecuali hanya sebentar sekali, sekejap mata.” (Dinukil dari Fathul Bariy, 18/224)
Negeri asing dan tempat pengembaraan yang dimaksudkan dalam hadits ini adalah dunia dan negeri tujuannya adalah akhirat. Jadi, hadits ini mengingatkan kita dengan kematian sehingga kita jangan berpanjang angan-angan. Hadits ini juga mengingatkan kita supaya mempersiapkan diri untuk negeri akhirat dengan amal sholeh. (Lihat Fathul Qowil Matin)
Dalam hadits lainnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا لِى وَمَا لِلدُّنْيَا مَا أَنَا فِى الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا
“Apa peduliku dengan dunia?! Tidaklah aku tinggal di dunia melainkan seperti musafir yang berteduh di bawah pohon dan beristirahat, lalu musafir tersebut meninggalkannya.” (HR. Tirmidzi no. 2551. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi)
‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu juga memberi petuah kepada kita,
ارْتَحَلَتِ الدُّنْيَا مُدْبِرَةً ، وَارْتَحَلَتِ الآخِرَةُ مُقْبِلَةً ، وَلِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بَنُونَ ، فَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الآخِرَةِ ، وَلاَ تَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الدُّنْيَا ، فَإِنَّ الْيَوْمَ عَمَلٌ وَلاَ حِسَابَ ، وَغَدًا حِسَابٌ وَلاَ عَمَلَ
“Dunia itu akan pergi menjauh. Sedangkan akhirat akan mendekat. Dunia dan akhirat tesebut memiliki anak. Jadilah anak-anak akhirat dan janganlah kalian menjadi anak dunia. Hari ini (di dunia) adalah hari beramal dan bukanlah hari perhitungan (hisab), sedangkan besok (di akhirat) adalah hari perhitungan (hisab) dan bukanlah hari beramal.” (HR. Bukhari secara mu’allaq )
Ingat, mungkin setiap perantau tidak akan pulang ke kampung dan menetap di perantauan. Tetapi untuk setiap perantau di dunia PASTI akan pulang ke kampung akhirat. Siap atau tidak siap. Waktunya bisa kapan saja.
Kapan? “Sebentar lagi”
Comments
Post a Comment