KHAUF DAN RAJA’ SERTA PILAR MURUAH
KHAUF DAN RAJA’
Secara bahasa khauf adalah lawan kata al-amnu.
Al-amnu adalah rasa aman, dan khauf adalah rasa takut. Khauf adalah perasaan takut terhadap siksa dan keadaan yang tidak
mengenakkan karena kemaksiatan dan dosa yang telah diperbuat.
Sedangkan raja’ adalah perasaan penuh harap
akan surga dan berbagai kenikmatan lainnya, sebagai buah dari ketaatan kepada
Allah dan Rasul-Nya. Bagi seorang muslim, kedua rasa ini mutlak dihadirkan. Karena
akan mengantarkan pada satu keadaan spiritual yang mendukung kualitas
keberagamaan seorang muslim.
Kenapa kita harus mempunyai sifat khauf. Pertama,
supaya ada proteksi diri. Terutama dari keterjerembaban kemaksiatan dan dosa. Contoh,
nafsu tidak ada kata berhenti dalam menjerumuskan kita. Oleh karena itu, kita
harus membuat nafsu menjadi takut. Seorang ahli hikmah berkata, “suatu ketika
nafsu mengajak berbuat maksiat, lalu ia keluar dan berguling-guling di atas
pasir yang panas seraya berkata kepada nafsunya, ‘rasakanlah! Neraka jahannam
itu lebih panas dari pada yang anda rasakan ini.”
Kedua, agar tidak ujub atau berbangga diri dan
sombong. Sekalipun kita sedang dalam zona taat, kita harus selalu waspada
terhadap nafsu. Perasaan paling suci, paling bersih, dan paling taat adalah
siasat halus nafsu. Karena itulah nafsu harus tetap dipaksa dan dihinakan
tentang apa yang ada padanya, kejahatannya, dosa-dosa dan berbagai macam
bahayanya. “jangan engkau merasa paling suci, karena Aku tahu siapa yang paling
bertakwa” (QS An-najm:32)
Lalu, kenapa kita harus memiliki sifat raja’?
pertama, agar tetap bersemangat dalam ketaatan. Sebab berbuat baik itu berat
dan setan senantiasa mencegahnya. Meski berat, tapi buah dari ketaatan sangat
luar biasa, penuh rahmat dan surga-Nya Allah.
Imam al-ghazali berkata, ‘’kesedihan itu dapat
mencegah manusia dari makan. Khauf dapat mencegah orang berbuat dosa. Sedang raja’
bisa menguatkan keinginan untuk melakukan ketaatan. Ingat mati dapat menjadikan
orang bersikap zuhud dan tidak mengambil kelebihan harta duniawi yang tidak
perlu.
Kedua, agar tetap tenang dengan berbagai
kesulitan hidupnya. Ketika orang benar-benar menyukai sesuatu, tentu ia sanggup
memikul beban beratnya. Bahkan merasa senang dengan keadaan sulitnya itu. Seperti
orang yang mengambil madu di sarang lebah, ia tidak akan pedulikan sengatan
lebah itu, karena ingat akan manisnya madu.
Begitu pula orang-orang yang tekun beribadah,
mereka akan berjibaku apabila ia teringat surga yang indah dengan berbagai
kenikmatannya; kecantikan bidadari-bidadarinya; kemegahan istananya; kelezatan
makanan dan minumannya; keindahan pakaian dan keelokan perhiasan dan semua yang
disediakan Allah di dalamnya.
Di waktu yang lain, Imam Al-Gazhali ditanya, ‘’manakah
yang lebih utama di antara sikap khauf dan raja’?’’
Sang Hujjatul Islam menjawab dengan nada
bertanya, ‘’mana yang lebih enak, roti atau air?’’ bagi orang yang lapar, roti
lebih tepat. Bagi yang kehausan, air lebih pas. Jika rasa lapar dan haus hadir
bersamaan dan kedua rasa ini sama-sama besar porsinya, maka roti dan air perlu
diasupkan bersama-sama, tambah sufi terbesar sepanjang masa ini.
PILAR MURUAH
Karena akhlak mulia berdimensi banyak
diperlukan simpul dan pengikat agar tidak terlepas dan tercecer. Nah, simpul
pengikat itu tidak lain adalah muruah.
Dalam Mausu’ah
Fiqh al-Qulub dijelaskan, muruah adalah mengerjakan segenap akhlak baik dan
menjauhi seluruh akhlak buruk. Menerapkan semua hal yang akan menghiasi dan memperindah
kepribadian serta meninggalkan semua yang mengotori dan menodainya.
Defenisi ini mengisyaratkan semua akhlak mulia
bisa tertampung di dalamnya, sehingga cakupan muruah pun menjadi sangat luas. Karena
luasnya cakupan, sebagian ulama kemudian meneliti akhlak mana saja yang menjadi
pilar tegaknya muruah ini.
Ar-Rabi bin Sulaiman berkata, ‘’saya mendengar
Imam as-Syafii berkata, ‘muruah itu mempunyai empat pilar, yaitu berakhlak
baik, dermawan, rendah hati, dan tekun beribadah.’’
Selalu berakhlak baik ibarat induk yang menarik
anak semangnya. Tanpa berakhlak baik sesuai perintah Allah dan Rasul-Nya,
seseorang tidak pantas menyandang sifat muruah.
Urwah bin az-Zubair (ulama tabi’in)
menyebutkan, ‘’bila engkau melihat seseorang melakukan kebaikan, ketahuilah
bahwa kebaikan itu memiliki anak semang pada diri orang tersebut.’’
Pilar kedua, yaitukedermawanan. Pilar ini
merupakan refleksi dari itsar (mengutamakan orang lain), futuwwah (murah hati),
tidak cinta dunia, saling menolong dalam kebajikan dan takwa, mendatangkan
kegembiraan kepada sesama, dan sebagainya.
Menurut Al-Qur’an, manusia sebenarnya cenderung
enggan melepaskan haknya kepada orang lain alias pelit. Dan, mereka maunya
hanya diberi. ‘’dan, manusia itu menurut tabiatnya kikir,’’ (QS An-nisa:128). Maka,
kedermawanan adalah tindakan melawan nafsu serakah, egois, cinta dunia, dan
sebagainya.
Pilar ketiga, rendah hati (tawadu). Kita bisa
memahami betapa hebatnya akhlak ini dengan merenungkan kisah Adam, malaikat,
dan iblis sebagaimana disitir Al-Qur’an. Sungguh, kesombonganlah yang membuat
iblis menolak bersujud kepada Adam.
Ia merasa lebih baik dan lebih mulia, sehingga
tidak mau menghormati Adam. Allah pun murka kepada iblis, melaknatnya, lalu
mengusirnya dari surga. Sebaliknya, dengan rendah hati para malaikat
serta-merta bersujud.
Dengan kata lain, ketawadukan akan menyemai
amal-amal shaleh, sebagaimana kesombongan pasti membuahkan aneka dosa dan
maksiat. Dibalik ketawadukan ketika sikapnya ini benar-benar tulus dan bukan
kamuflase, sebenarnya sedang bersemayam banyak akhlak yang lain, seperti
muhasabah (instropeksi diri), gemar berkompetisi dalam kebaikan, tidak tertarik
mencari-cari aib orang lain, menghormati yang lebih tua, dan menyayangi yang
lebih muda.
Pilar terakhir adalah tekun beribadah. Bagian ini
menyiratkan dua hal sekaligus. Pertama, tidak ada keshalehan hakiki yang tidak
disertai dengan kedekatan kepada Allah, apalagi jika tanpa iman.
Meski seseorang telah menyempurnakan tiga pilar
muruah yang lain, jika dia malas beribadah maka kebaikan-kebaikannya rawan
tercemari oleh motif-motif yang salah, sehingga sia-sia. Dengan ibadahlah maka
hati seseorang akan lebih terjaga.
Kedua, ibadah akan mewariskan keteguhan hati
dan kesabaran, sehingga mendatangkan istiqamah. Dengan istiqamah, kehormatan
seseorang terjaga. Dan, di situlah puncak muruah. Wallahu’alam
Comments
Post a Comment