The Power of Doa Ibu


                Semasa kecil saya dimandiin sama ibu saya. Hamper di setiap mandi, saat dikeringkan, pagi sore ibu berdoa, ‘’mudah-mudahan Jam’an bisa jadi guru Mansur. Bisa jadi ulama besar, kyai besar.’’
               
Ibu saya memintakan nama bagi saya bayi saat itu kepad almarhum KH Sanusi Hasan. Dan, diberikanlah nama Jam’an. Lengkapnya, Jam’an Nurchotib Mansur, yang mempunyai arti kurang lebih ‘’berkumpulnya cahaya para khatib, cahaya para penceramah.’’ Dan, Mansur merujuk nama KH Mohammad Mansur atau dikenal dengan nama Guru Mansur. Beliau buyut kami, seorang ulama betawi tempo dulu yag namanya dijadikan nama jalan yang membentang di jembatan Lima, antara Roxi sampai ke jembatan laying Kota. Ahli falak, dengan kitabnya yang masyhur dibidang ini, Sullamun Nairain.
              
  Ibu sangat ingin saya menjadi ulama. Beliau ingin saya menjadi penerus kakeknya ibu. Dan, ibu seantiasa berkata, ‘’siapa yang doain ibu kalau nanti sudah meninggal?’’

                Kutipan kalimat ibu pernah saya jadikan kalimat promo bagi Pesantren Tahfidz Daarul Qur’an. Yakni, ‘’ibu ngak kepengen anak ibu cuma pintar, tapi ninggalin shalat. Ibu ngak kepengen anak ibu Cuma kaya, tapi sedikit amal. Ibu ngak kepengen anak ibu Cuma sukses, tapi lupa ngedoain ibu.’’
                Di antara doa ibu yang lain, yang hampir terdengar dan diperdengarkan, saat mengeringkan badan saya ketika dimandikan beliau, ‘’mudah-mudahan Jam’an bisa bolak-balik ke Mekkah, ke tanah suci, kayak kedepan pintu. Bisa bolak-balik kapan aja.’’

                Saat itu, saya pernah protes, ‘’gak mungkin doanya Bu. Doa yang lain aja…’’

                Ibu saya saat itu jawab, ‘’eh eh eh… kalau Allah sudah bilang, ‘Kun Fayakun…’’

                Ibu saya, Uum, panggilan pendek dari Humrif’ah, putri dari pasangan Firdaus dan Rafi’ah, wafat 26 Syawal 1434H/2 September 2013, pada usia 63 tahun.

                Saat menuliskan ini saja, air mata menetes. Sungguh, banyak hal dari beliau yang akhirnya saya sampaikan ke kawan-kawan jamaah. Kadang malah apa adanya seperti kalimat ‘’Kun Fayakun.’’ Inspirasi-inspirasi dari beliau mengalir lagi ke Jemaah dalam bentuk pengajaran atau contoh.

                Kawan-kawan memperhatikan saya, bagaimana saya kemudian ‘’memasarkan’’ shalawat, mendakwakwahkan shalawat. Sesungguhnya pun ini inspirasinya dari beliau. Saya ‘’kenyang’’ mandi shalawat. Seorang kawan SD-nya ibu pernah bersaksi kepada saya, ‘’Jam’an mah wajar dah kali jadi ustadz. Jadi orang. Dari bayi, ibu kamu ngak pernah putus shalawat. Mandiin sambil shalawat. Ngeringin badan sambil shalawat. Nganter sekolah sambil shalawat. Nyuapin sambil shalawt. Ngegendong sambil shalawt.’’

                Dungguh pun saya sampai sekarang masih berasa bukan siapa-siapa, hanya seorang yang bertobat dan sedang memperbaiki diri. Yang dalam masa pertobatan dan memperbaiki dirinya ini, saya sekalian mengajak yang mau ikut bertobat dan memperbaiki diri. Saya merasa bahwa benar-benar doa ibu itulah salah satu yang membuat saya masih diberi Allah kesempatan itu.

                Dengan izin Allah, tahun 2002 saya yang lama tak pulang kerumah kembali pulang ke rumah. Dalam keadaan sudah menulis dua buku, Mencari Tuhan dan Kun Fayakuun, serta sudah mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Komputer, saya ditanya oleh ayah saya, ‘’apa yang kira-kira sudah membuat kamu begini? Kayaknya bisa bangkit lagi? Bisa maju?’’

                Saya terdiam. Saya ingin menjawab, ‘’Salat Dhuha saya ngak putus. Berusaha shalat malam terus. Puasa. Sedekah habis-habisan, terus-terusan. Belajar, gigih, pantang menyerah…’’, dan kata-kata lain, tapi semua itu ngak kelaur. Saya tahu, pasti ada kalimat lain. Dan, benar saja kata ayah saya, ‘’Doa ibu, tuh. Ibu pagi siang sore malam, haid gak haid, selalu di atas sejadah. Doain Jam’an biar jadi orang bener, biar jadi orang besar, biar jadi kyai.’’ Saat itu, saya setengah lari ke kamar ibu. Dan, ibu dalam keadaan di atas sejadah, berbalut mukena.


                ‘’Ya Allah, ampunilah ibu saya. Apa-apa kebaikan dari saya dan semua orang yang mendengar saya, mengikuti saya, alirkan pahala yang sempurna untuk beliau. Dan, juga untuk segenap orang-orangtua saya yang lain. Ampuni juga segala kesalahan saya dan semua kesalahan adik-adik saya supaya ngak mengalir kesalanhannya buat orangtua-orangtua.’’ Tolong aminkan doa saya. inshaAllah kembali doa kepada yang mendoakan. Salam   

Comments

Popular posts from this blog

Asmaul Husna [ 3. Yang Maha Penyayang (الرَّحِيْمُ) ]

Berapa Umur Kita?

MENYELESAIKAN MASALAH TANPA MASALAH (Bagian I)